Akhir 2019 kita dikejutkan oleh berita sensasional mengenai
merebaknya satu virus mematikan dengan penyebaran yang sangat cepat secara
global ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Corona Virus Disease 2019 atau
lebih dikenal dengan Covid-19. Indonesia terbilang lambat dalam mengantisipasi
virus ini, dengan berbagai keyakinan dari pemerintah waktu itu bahwa virus ini
tidak akan masuk ke Indonesia sampai dengan berita mengenai sembuhnya 2 pasien
pertama covid-19 dengan perantara minum jamu menghiasi tayangan berita di
hampir semua stasiun TV. Berita yang terbilang mengejutkan ditengah masih
sibuknya dunia dalam mencari anti virus atau obat penyembuh virus Covid-19.
Sampai sekarang berita penyembuhan dengan jamu tersebut masih menjadi misteri.
Ketika akhirnya Indonesia harus menerima kenyataan pahit
bahwa ternyata Covid-19 bisa melenggang masuk dan menjangkiti banyak masyarakat
Indoensia dari mulai gejala ringan sampai meninggal dunia, maka kehidupan
masyarakat dipaksa berubah. Memakai masker kemanapun pergi, sering mencuci
tangan dengan sabun, menjaga jarak dan menghindari kerumunan, sampai regulasi
work from home (WFH) dan School from home pun diberlakukan untuk menghindari bertambahnya
korban pandemic Covid-19. Semua harus menjadi normal di suasana yang tidak
normal.
Pertanyaannya adalah sudah siapkah masyarakat Indonesia
melakukan transisi menuju new normal?
Mengapa Pertanyaan itu muncul? Karena penulis melihat
perilaku masyarakat Indonesia itu sendiri yang agak mengkhawatirkan. Seperti
Ketika menjelang Iedul Fitri kemarin, pusat perbelanjaan hingga pedagang
pinggir jalan masih ramai dipenuhi peminat untuk membeli baju maupun
perlengkapan lebaran lainnya. Belum lagi pemakaian masker yang masih sembrono bahkan
masih banyak masyarakat yang keluar rumah tanpa memakai masker. Dan dengan
mulai diberlakukannya masa transisi menuju new normal, kecemasan akan hadirnya
‘second wave’ masih menghantui kehidupan masyarakat Indonesia.
Data lapangan berbicara bahwa Indonesia masih harus berjuang
keras untuk bisa lepas dari jeratan virus corona, Bapak Achmad Yurianto selaku
juru bicara pemerintah terkait penanganan corona, dalam update corona yang
disiarkan akun youtube BNPB pada selasa 30 juni 2020 seperti dilansir detiknews
menyebutkan bahwa per tanggal 30 Juni 2020 ada 43.797 ODP dan 13.182 PDP di
Indonesia. Angka tersebut masih bisa terus naik mengingat belum meratanya test
masal yang dilakukan di seluruh Nusantara.
Bahkan hal tersebut diperparah dengan ketidakdisiplinan
masyarakat itu sendiri. Hasanuddin Ali, CEO Alvara Research Center dalam
keterangan tertulisnya yang dimuat di infobrand (dot) id mengatakan bahwa
public menilai tingkat kedisiplinan dan partisipasi warga sekitar dalam menjalankan
social/physical distancing di lingkungan mereka cukup rendah. Dari hasil survey
Alvara disebutkan bahwa hanya 8,3% menilai semuanya benar benar patuh, 38,7%
menilai Sebagian kecil mengikuti, 50,2% menilai Sebagian besar tidak mengikuti;
dan 2,6% menilai tidak ada yang mengikuti, serta 0.2% menjawab tidak tahu.
Sebuah data hasil survey yang miris mengingat betapa berbahayanya penularan
virus ini.
Jika kita berkaca pada negara lain yang sudah berhasil
ataupun paling tidak mengurangi penularan virus ini secara signifikan maka akan
kita temukan beberapa metode yang bisa kita coba. Sebagai contoh adalah negara
tetangga kita Vietnam. Dikutip dari artikel dalam situs World Economic Forum,
Vietnam meluncurkan sederet inisiatif untuk melawan penyebaran corona pada 1
Februari 2020. Seluruh penerbangan dari dan menuju Tiongkok disetop, sekolah
ditutup setelah libur tahun baru Tiongkok. Dua minggu kemudian karantina
diberlakukan di provinsi Vinch Phuc sebelah utara Hanoi, selanjutnya Vietnam
memberlakukan karantina selama 14 hari untuk siapapun yang baru tiba di Vietnam
dan menyetop seluruh penerbangan internasional. Kunci penanganan corona di
Vietnam bukanlah dengan tes masal seperti di Korea Selatan, melainkan dengan
respon cepat dan Kontrol pemerintah.
Baca Juga : Menyerah atau Bangkit
Kesiapan Pemerintah dalam menghadapai New Normal yang
terbilang lambat perlu diakselerasi, setidaknya ada beberapa poin yang menurut
penulis perlu diperhatikan. Yang pertama adalah biaya Rapid Test dan SWAB test
yang masih terbilang mahal untuk kalangan masyarakat bawah, alangkah baiknya
jika ada kebijakan dari Pemerintah pusat yang membuat biaya tersebut menjadi
terjangkau atau malah gratis bagi masyarakat. Selanjutnya adalah mengenai
kebijakan transportasi umum, jika di DKI Jakarta dengan Transjakarta nya yang sudah
menerapkan secara konsisten masalah physical distancing bagaimana dengan
angkot? Apakah sudah ada regulasinya? Apakah para sopir angkot itu rela jumlah
penumpangnya berkurang setengahnya karena harus duduk berjarak? Jika melihat
realitas di lapangan, penulis masih sering melihat angkot yang penuh dan tanpa
tanda (x) di tempat duduk penumpang. Hal penting lainnya adalah pasar
tradisional dan mall, Ketika tulisan ini dibuat (01/07/2020) penulis baru
mendengar kabar bahwa pedagang di pasar Mede yang notabede warga Kebayoran Lama
positif covid. Menyikapi hal tersebut, apakah ada regulasi untuk pasar
tradisional dan mall? jikapun ada apakah bisa dilakukan dengan disiplin dan
konsisten oleh para penegak hukum? Sehingga penyebaran bisa diminimalisir.
Selanjutnya adalah dunia Pendidikan, Sudahkah ada antisipasi jika nanti anak
sekolah mulai masuk? Mengingat akan massive nya hilir mudik para pelajar dari
mulai TK sampai Universitas, kondisi di jalan kemudian bagaimana interaksi
siswa di sekolah. Sudahkah ada rencana yang efektif supaya penyebaran virus ini
tidak meluas dengan perantara para siswa?.
Dari sisi masyarakat pada umumnya, penulis melihat justru
beberapa waktu belakangan Ketika PSBB mulai dicabut masyarakat mulai lebih
santai menyikapi pandemi ini, ditandai dengan keramaian yang makin meningkat di
jalan maupun di tempat umum, mulai masuknya para pekerja kantoran walaupun
belum semuanya, kegiatan masyarakat semisal di lingkungan RT mulai Kembali
ramai dengan aktivitasnya. Fenomena ini bisa berarti baik maupun buruk,
tergantung bagaimana kita melihatnya, bisa dimaklumi masyarakat yang mulai
bosan dengan kegiatan di rumah yang belum jelas kapan berakhir, bisa juga sudah
merasa masa bodoh dengan pandemic, atau malah ada yang skeptis dan lebih
memilih ide konspirasi sebagai jalan keluar.
Dari pemaparan diatas penulis berkesimpulan bahwa sebetulnya
kita belum siap menghadapi new normal, dari aspek regulasi hingga kesadaran
masyarakat itu sendiri. Masih banyak PR bagi kita supaya negara ini bisa segera
terbebas dari pandemic ini. Sebagai seorang individu dari masyarakat, penulis
hanya bisa menghimbau untuk tetap berdisiplin menjaga diri, setidaknya dengan
selalu memakai masker kemanapun pergi dan rajin mencuci tangan dengan sabun
kapanpun dan dimanapun, karena sekarang kita tidak boleh tergantung pada
siapapun, lebih baik bersikap mandiri dan bertanggung jawab menjaga diri serta
keluarga terdekat dari ancaman virus ini. Untuk Pemerintah penulis berharap
jangan sungkan untuk meniru metode nagara lain yang sudah berhasil, bergeraklah
cepat karena rakyat sudah menunggu teralu lama dalam ketidakpastian. Satu yang
pasti adalah masyarakat tidak mau menjadi korban HERD immunity… tidak mau!
Penulis : Andi Garmadi
0 Komentar