Menyerah atau Bangkit ?


Tidak mudah memulai suatu langkah, sungguh banyak rintangan yang menghadang. Perlu perjuangan tinggi melintasi badai supaya bisa survive, terluka ya, terjatuh sudah pasti, namun ada pengharapan di depan yang selalu membuat kita bangkit kembali.

Rencana manusia pastilah ‘tak sempurna’. Begitu banyak hal dalam pikiran yang direncanakan namun dalam kenyataannya hanya rencana Tuhan yang paling sempurna.

Seperti yang pernah saya alami tahun-tahun awal mulai menapaki dunia kerja. Sunguh jika bukan karena takdir Alloh SWT, mungkin saya tidak akan berada di dunia yang sekarang saya geluti.

Berbicara perjalanan hidup, rasanya tidak akan lepas dari kontribusi kakak saya (alm) Ikin Ahmad Sodikin. Saya menyebutnya ‘Fase 2’ kehidupan yang saya jalani. Fase dimana saya harus kehilangan orang tua dalam kurun waktu 2 tahun berturut-turut, dimana kebimbangan dan kesedihan layaknya awan tebal yang menutupi pandangan mata. Di Fase 2 inilah Ang Ikin, begitu saya menyebutnya, mengulurkan tangan dan secara perlahan mengajak saya melewati awan tebal kehidupan.

Sebagai anak bungsu dari 6 bersaudara, tidaklah mudah mengubah paradigma befikir seorang anak yang terbiasa ‘disuapi’ menjadi anak yang mandiri secara penuh. Fase 2 adalah Fase kesedihan, Fase perjuangan, Fase transformasi dalam kehidupan saya.

Dimulai dengan mengambil keputusan untuk hijrah ke Bogor, berhenti kuliah dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dan melanjutkan studi di Universitas Terbuka (UT). UT seyogyanya tidaklah terlalu asing bagi saya karena Ang Aos, kakak pertama saya juga alumni UT dengan jurusan yang sama.

Selain kuliah di UT saya mulai menapaki dunia kerja di bengkel Ang Ikin yang baru dirintisnya di daerah Parung Bogor. Inilah langkah pertama saya dalam memasuki dunia kerja.
Dunia saya mendadak terbalik 180 derajat, perlu adaptasi ? pasti, namun harus dalam waktu sesingkat mungkin. Tidak banyak waktu bagi saya untuk meratap dan mencari alasan, hanya ada dua pilihan, menyerah atau bangkit.

Saya memilih bangkit.

Menata kembali rencana masa depan yang berserak, membangun kembali semangat yang sempat pudar, dan mulai menyusun kembali impian yang sempat hilang. Tekad saya ketika itu adalah “Saya harus merubah energy negative ini menjadi energy positif yang membangun”

Masih terbayang jalur jalan berkelok via Puncak menuju Parung, pandangan nanar setengah hampa melengkapi perjalanan saya di Bus yang sesekali teralihkan oleh hijaunya pohon teh sepanjang jalur puncak serta hembusan angin segar yang mengelus lembut.

Dan dari sepetak tanah bengkel di Parung, harapan kembali dimunculkan, tidak mudah dan banyak rintangan pastinya, namun saya bertekad untuk buktikan bahwa saya bisa bangkit dari keterpurukan, mampu untuk mandiri secara psikologis dan ekonomi. Dan Ang Ikin selalu menjadi api penyemangat, sekaligus selimut tempat berlindung bagi saya di fase ini  (semoga semua kebaikan beliau menjadi ladang pahala yang tidak putus aamiin)

Hidup adalah pilihan, begitu menurut orang-orang bijak terdahulu. Menjadi A atau menjadi B di hari ini ditentukan oleh keputusan kita di masa lalu. Ketika hidup memberi kita tantangan, maka disitu pasti ada pilihan, kita dituntut untuk berani ambil keputusan yang harus dipertanggung jawabkan tanpa keluhan. Berani mengambil keputusan adalah tanda kedewasaan, setidaknya itulah yang saya pelajari dari kedua orang tua dan kakak-kakak saya.

Kamu tidak bisa memaki takdir yang telah kamu pilih sendiri, jalani dan bertanggung jawab. Beranilah dalam menantang gelombang, bukankah kapal berlayar dengan menantng angin?

AMG 2020
Previous
Next Post »
0 Komentar